TUNGGU
Waktu menunjuk pukul tujuh. Di sudut kafe ketiak saya berpeluh. Namun
tak bisa mengeluh. Kecuali pada ponsel yang suaranya tak juga melenguh.
Dua belas jam yang lalu ada yang mengaku akan datang. Yang saya
harapkan selalu di kafe itu senyumnya akan mengembang. Ketika melihat
saya. Karena berdekatan dengan pujaan hati, katanya. Biasanya kami akan
menghabiskan waktu dengan percakapan. Saling bertatapan. Saling bertukar
harapan. Harapan untuk bisa merapat dan berdekapan. Di suatu tempat
yang jauh dari kegaduhan.
Namun, sebenarnya, hati saya selalu gaduh. Ketika di atas tubuhnya
saya mengaduh. Karena setelahnya saya akan mengeluh. Bertanya, ke
manakah hubungan ini akan berlabuh?
”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang memabukkan.”
”Hah?!”
Saya bukan orang yang mengerti bahasa isyarat. Apalagi kalau itu
mengandung makna filosofis berat. Saya cuma tahu karena saya merasa.
Bukan karena teori-teori yang tercantum dalam buku-buku yang pemikir
sepertinya biasa baca. Saya hanya mau mencinta. Apakah lewat buku-buku
bermartabat itu baru cinta bisa dicerna?
Ia selalu menyebutkan nama-nama terkenal yang saya tidak kenal. Ia
selalu menyebutkan nama-nama yang bahkan di dalam kepala saya pun tak
akan lama mengental. Badiout? Platoy? Badut yang letoi, begitu yang
selalu ada di dalam kepala saya tercantol. Bukan karena pemikiran mereka
tentang kebenaran yang tidak saya pahami. Tapi lebih karena setiap kali
melihat badut yang letoi, saya merasa tak sampai hati.
Saya tidak pernah habis pikir mengapa ada karakter semacam badut di
sirkus. Rata-rata mereka sebenarnya berbadan kurus. Bermuka tirus. Hanya
kosmetik di mukanya memberangus. Dan buntalan di perutnya yang besar
membungkus. Sehingga ia kelihatan lucu dan mungkin bagus. Bagi mata
orang-orang tua yang membawa anak-anaknya hanya untuk sejenak melupakan
haus. Haus hiburan. Haus kebersamaan. Haus tertawa bersama dalam suasana
kekeluargaan. Padahal mata anak-anak itu mungkin bisa melihat apa yang
ada di balik mata badut-badut. Mata yang bersungut. Dan mulut yang
merengut di balik riasan begitu lebar dan memerah di mulut.
Salah satu mata anak-anak itu, adalah mata saya. Mungkin di antara
banyaknya anak-anak itu, hanya saya satu-satunya. Melihat badut yang
itu-itu saja di setiap pertunjukan sirkus apa pun dan di mana pun juga.
Badut yang letoi. Letoi yang adalah seperti tak bersendi dalam bahasa
asli Jakarta. Dan selalu ada garis merah di bawah mata mereka seperti
air mata. Jadi saya tidak pernah mengerti mengapa mereka
menertawakannya. Bahkan sampai sekarang, ketika usia saya menginjak
dewasa.
Menertawakan kesedihan. Menertawakan kebersamaan. Menertawakan
keadaan merekakah yang terpaksa datang bersama sanak keluarga hanya atas
nama kekeluargaan? Menertawakan diri mereka sendiri. Dan untuk itu ada
harga yang harus mereka beli?
”Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahaha.”
Akhirnya saya tertawa lepas sebelum ia menjawab reaksi saya. Sangat
lepas melebihi tawa saya melihat badut-badut letoi di sirkus. Berikut
binatang-binatang yang tidak seharusnya diberangus. Sangat sangat lepas
melebihi tawa-tawa dengannya yang sudah hangus.
”Kenapa kamu ketawa, Sayang? Saya kan udah bilang, kalau kamu mau
jadikan anak kita, sekarang saatnya. Saya tidak akan bisa kasih anak ke
kamu lagi mengingat umur saya sudah lima puluh tahun sekarang. Tapi,
saya tidak bisa jamin apakah saya bisa tanggung jawab secara material.”
Kupu-kupu melebarkan sayapnya tepat di depan bebungaan di mana kami
duduk. Ia pun melebarkan jangkauan tangannya di mana tangan saya sedang
diam merunduk. Mencoba meredam tawa saya yang sudah terdengar seperti
orang mabuk. Tenang gerakannya sangat saya tahu sebenarnya memendam rasa
amuk. Karena itu segera saya kibaskan tangan itu berpura-pura menghalau
nyamuk.
”Kamu…”
”Hah?!”
Saya memotong kalimatnya. Persis seperti apa yang dilakukan
badut-badut ketika berada di atas arena. Berteriak ketika ada yang
mengolok-oloknya. Terjatuh. Mengaduh. Berlari. Tanpa berani memaki.
Menghilang ke balik panggung. Disertai dengan sorak-sorai dan tawa
menggunung.
Sorak-sorai itu yang mengingatkan saya atas kutipan-kutipan yang
disebutkan ia dari nama-nama pemikir. Membuat saya mencibir. Karena ada
letupan kembang api di kepalanya. Dan warna-warni serpihan kembang api
itu jatuh ke bahunya. Ia tidak pernah mengetahuinya. Maka, ia tak
merasakannya. Ketika serpihan kembang api itu melumatnya. Bahkan ketika
ia berkata,
”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang memabukkan.”
Tapi di manakah sekarang ia?
”Hah?!”
Terkejut saya ketika bahu ditepuk seseorang.
”Boleh saya ambil bangku yang tak terpakai?”
”Hah?!”
Saya tidak bisa menentukan. Saya sudah menunggu dua jam dengan perut
kram akibat pengguguran. Namun ia tak juga datang. Tapi apakah saya
harus menyerahkan bangku kosong di sebelah saya ke seseorang? Seseorang
yang membutuhkan bangku tambahan di mejanya karena ia bersama banyak
teman tak terkecuali perempuan?
”Boleh saya pakai bangkunya, Mbak?”
Saya menatapnya.
”Maaf, ada yang saya tunggu.”
”Waktu?”
Waktu menunjuk pukul tujuh.